Mutiara Hadits - 1

Dari Abu ‘Abs, yaitu Abdurrahman bin Jabr Rasulullah saw bersabda; tidaklah kedua telapak kaki seorang hamba berdebu di jalan Allah lalu ia tersentuh oleh api neraka (HR al-Bukhari dan lainnya).

Mutiara Hadits - 2

Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiallohu 'anhu, Pelayan Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam, ia berkata; Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda, Sungguh pagi hari berangkat atau sore hari kembali dari berjihad di jalan Allah lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Mutiara Hadits - 3

Dari Abu Hurairah , berkata; nabi  ditanya, Apakah amal yang paling utama? Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan rasulNya. Lalu ditanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah” Kemudian ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Mutiara Hadits - 4

Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, A’isyah , berkata, wahai Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, mengapa kami tidak (dilibatkan dalam) berjihad? Beliau menjawab, “Tidak, tetapi jihad yang paling utama (bagi wanita) adalah hajji yang mabrur (HR al-Bukhari).

Mutiara Hadits - 5

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda; barangsiapa mati padahal ia belum pernah berperang, dan tidak pernah terlintas di benaknya keinginan untuk berperang maka ia mati di atas salah satu cabang kemunafikan (HR Muslim).

Kamis, 05 April 2012

Dengan Apa Kami akan Dituduh dalam Jihad Kami?

Artikel ini merupakan risalah terakhir dari kitab Ma’âlim Ath-Thâ’ifah Al-Manshûrah fî Uqri Dâr Al-Mu’minîn (Bilâdu Syâm) karya Abu Qatadah Al-Filasthini (Umar bin Mahmud Abu Umar.

Suatu yang sudah sama-sama diketahui bahwa musuh-musuh Islam senantiasa melemparkan tuduhan-tuduhan buruk kepada para mujahidin dalam rangka untuk menjauhkan umat dari para mujahidin. Strategi ini seolah-olah mereka warisi dari generasi kafirin sebelumnya sebagaimana firman Alloh Ta'ala:

"Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu..." (QS. Adz-Dzariyyat ayat 53)


Simaklah pemaparan syaikh Abu Qotadah berikut ini:

Dengan Apa Kami akan Dituduh dalam Jihad Kami?

Sesungguhnya musuh-musuh Allah telah berancang-ancang mengatur strategi mereka dalam rangka menjaga keyakinan-keyakinan batil mereka dan kekuasaannya, yaitu dengan melemparkan berbagai macam tuduhan terhadap kaum mukminin, mereka berdusta terhadap Allah Azza wa Jalla, terhadap diri-diri mereka sendiri, dan terhadap manusia dan ini adalah salah satu cara dalam menghalang-halangi dari jalan Allah ta’ala dan sungguh Allah ta’ala telah menyingkap dakwaan-dakwaan ini dan membongkar urusannya bagi orang-orang beriman agar mereka tetap berada diatas bashirah dan cahaya dari Tuhan mereka, maka tidaklah mereda bara api iman yang mennyala di dalam hati-hati mereka, mereka tidak berpaling dari syariat-Nya karena segan kepada musuh, dan karena malu jika mereka dituduh dengan berbagai macam tuduhan , dan diantara tuduhan itu adalah sebagai berikut :
1. Kami akan dituduh bahwa sesungguhnya kami berusaha untuk mendapatkan kedudukan dan kekuasaan. Allah Ta’ala berfirman;

Mereka berkata, Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapat dari nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi… (Yunus : 78).
2. Kami akan dituduh berbuat kerusakan di muka bumi dan mendatangkan agama baru. Allah Ta’ala berfirman;

“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya) “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah dia memohon kepada Tuhannya karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (Ghafir : 26)
3. Kami akan dituduh bahwasanya dengan mengikuti kami akan membawa kepada kemiskinan dan memacetkan sumber-sumber ekonomi (seperti menghambat pariwisata, menjadikan tempat-tempat mesum dan hotel-hotel menjadi kosong dan macet). Allah Ta’ala berfirman:

Dan mereka berkata: Jika kami mengkuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan diusir dari negeri kami.” (Al-Qashash: 57).

Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir berkata (kepada sesamanya): Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu jika berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi. (Al-A’raf: 90)

4. Tuduhan mereka terhadap kami, bahwa kami memaksakan pendapat dengan kekuatan dan penguasaan, tidak melalui saluran mayoritas (pesta demokrasi). Allah Ta’ala berfirman:

Kemudian Fir’aun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (Fir’aun berkata): Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan yang kecil (sedikit). (Asy-Syu’arâ’: 53-54)
Semua tuduhan tersebut tidak lain tujuannya hanyalah untuk menolak dan memalingkan manusia dari agama Alalh dan petunjuk-Nya. Allah ta’ala berfirman;

Mereka ingin agar kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir. (An-Nisâ’: 89)

Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (Al-Baqarah: 120)

Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka: Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami. (Ibrâhîm: 13)

Sesungguhnya jika mereka mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melemparkamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya. (Al-Kahfi: 20)
Oleh karena itu, wahai saudara Muslim, waspadalah Anda dari fitnah mereka. Pegang teguhlah dengan tali Allah yang tidak akan tersesat orang yang berpegang teguh dengannya, dan kamu akan selamat, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan merasa lemah. Ketahuilah bahwa di belakang Anda ada jannah (surga) yang abadi.

Tempat yang disenangi di sisi Rabb Yang Berkuasa. (Al-Qamar: 55)

Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai, yaitu pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. (Ash-Shaff: 13)

Dan carilah kematian, maka kamu akan diberi kehidupan
Walhamdulillahi Rabbil ‘âlamîn.

Selasa, 03 April 2012

JIHAD SEORANG DIRI

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa ditujukan bagi Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam, beserta keluarga, shahabat, dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Kajian kita kali ini merupakan bagian ke-6 dari Risalah Ma’âlim Ath-Thâ’ifah Al-Manshûrah fî Uqri Dâr Al-Mu’minîn (Bilâdu Syâm) karya Asy-Syaikh Abu Qatadah Al-Filasthini (Umar bin Mahmud Abu Umar). Beliau mengatakan:

Perangnya Satu Orang dari Kaum Muslimin adalah Jihad, meskipun Tidak Ada Imam

Termasuk bentuk penyimpangan pada masa kini adalah adanya anggapan bahwa perangnya satu orang, sepuluh orang, dua puluh orang, empat puluh orang, dan seterusnya dari kaum muslimin bukan jihad,. Begitu juga perkataan bahwa perang tidak ada dan tidak disyariatkan, kecuali dengan adanya imam yang berkuasa. Anggapan dan omongan seperti ini tidak ada dasarnya, bahkan hanya dengan pahamnya saja sudah cukup untuk menghukumi kebodohan dan kekurangannya.

Pendapat-pendapat yang seperti ini dan syarat-syarat yang diada-adakan pada intinya tujuannya hanyalah untuk merusak dan menghapuskan syariat yang ada dan cenderung kepada kehidupan dunia, mau hidup bernikmat-nikmat tanpa ujian, tanpa jihad, karena tidak ada satu pun hadits yang dapat dijadikan dasar atau sandaran bagi orang yang berpemahaman seperti itu. Seharusnya pendapat yang konyol dan syarat-syarat yang tolol ini tidak terlintas dalam benak para penuntut ilmu, dan ucapan para ulama memenuhi kitab-kitab mereka, untuk menyanggah dan membantah pendapat-pendapat yang tolol ini, banyak sekali dalil-dalil syar’i yang menolak buih yang tak berarti ini.

1. Berkata Ibnu Hazm Rahimahullâh, “Persoalan orang-orang kafir diperangi baik yang memimpin kaum muslimin orang yang fasik dari para amir-amir maupun yang tidak fasik, baik yang menyerang maupun yang diserang, sebagaimana orang-orang kafir diperangi bersama imam. Mereka diperangi juga meskipun yang memerangi mereka hanya satu orang.” (Al-Muhallâ: VII/299)

2. Berkata Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Rahimahullâh dalam Al-Mughnî (VIII/353), “Maka jikalau Imam tidak ada, jihad tidak boleh ditunda, sebab dengan menunda jihad maslahatnya hilang. Jika berjihad tanpa imam dan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), maka ghanimah itu dibagikan oleh orang yang ahli sesuai dengan tuntutan syariat.”

3. Berkata Ibnu Taimiyah Rahimahullâh, “Oleh karena itu, menurut As-Sunnah bahwasanya orang yang mengimami manusia shalat adalah shahibul kitâb (orang yang paling memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah), dan orang-orang yang berjihad adalah shahîbul hadîd (orang-orang yang ahli senjata dan perang), sampai urusan terpecah sesudah (kondisi yang normal) itu. Apabila urusan telah terpecah, maka siapa saja yang mengendalikan urusan perang untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan menghukum para penjahat dia wajib ditaati perintahnya, selama sesuai dengan perintah dan ketaatan kepada Allah.” (Majmû’ Fatâwâ: XVIII/158)

4. Berkata Asy-Syaukani Rahimahullâh, ”Kaum muslimin berselisih pendapat tentang hukum memerangi orang-orang kafir di negeri-negeri mereka, apakah disyaratkan adanya Imam A’zham (khalifah) ataukah tidak? Yang benar bahwasanya yang demikian itu adalah wajib atas setiap individu dari kaum muslimin dan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi SAW yang ada, bentuknya adalah mutlak (umum) tanpa terikat (ghairu muqayyad).

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan demikian itu adalah sebagai berikut:

1. Tidak adanya nash yang menunjukkan kepada pensyaratan: Berkata Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah, “Pensyaratan yang tidak wujudnya berpengaruh pada tidak wujudnya sesuatu yang disyaratkan –sebagaimana yang ditetapkan oleh para pakar ushul fiqh– tidak bisa dijadikan sebagai dalil atasnya, melainkan jika ia menunjukkan kepada yang demikian itu, seperti nafyul qabul (tidak diterima), atau sebagai contohnya: tidak ada shalat (tidak sah shalatnya) bagi orang yang mengerjakan shalat di tempat yang najis, karena adanya dalil yang melarang hal tersebut. Adapun hanya sekedar perintah an sich, maka tidak bisa dipakai untuk menetapkan syarat-syarat.” (Ar-Raudhah An-Nadiyah: I/80).

Jadi, mana nash yang menunjukkan kepada syarat ini?! Bahkan terdapat beberapa hadits yang menolak makna ini, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Jihad itu berlangsung terus sejak Allah mengutus aku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Jihad tidak batal (terhapus) karena jahatnya orang yang jahat atau adilnya orang yang adil. ”

2. Allah Ta’âlâ berfirman:

"Maka, berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri, dan kobarkanlah semangat orang-orang yang beriman (untuk berperang)."

Berkata Imam Al-Qurthubi Rahimahullâh, “Ia merupakan perintah Allah kepada Nabi saw, agar berpaling dari orang-orang munafik dan bersungguh-sungguh di dalam perang di jalan Allah walaupun tidak ada seorangpun yang membantunya diatas itu.” Kemudian dia berkata, ”Sudah seharusnya bagi setiap mukmin untuk berjihad walaupun seorang diri. (Ahkamul Qur’an 5/293).

3. Kisah Abu Bashir RA telah jelas dan gambalang dalam kisah beliau r.a bahwa beliau berjihad tidak berada dibawah bendera imam, dia tidak memegangi dan komitmen dengan perjanjian damai yang diadakan olehRasulullahsaw dengan orang-orang kafir Mekkah, dan dia memerangi mereka sendirian tidak berada dibawah bendera imam yang berkuasa (Rasulullah saw). Dan kisah Abu Bashir bukan sekedar kisah pribadi seorang shahabat yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah sebagaimana anggapan sebagian orang, bahkan Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah berhujjah dengan kisah tersebut, sebagaimana yang disebutkan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad sewaktu menyebutkan faedah-faedah ditinjau dari ilmu fiqih yang bisa diambil dari perjanjian Hudaibiyah.

Ibnul Qayyim berkata: “Di antaranya bahwa sesungguhnya orang-orang yang membuat perjanjian apabila mereka mengadakan perjanjian dengan imam, lalu keluar dari mereka, segolongan (dari kaum muslimin) kemudian memerangi mereka dan melarang mereka dari menyerang mereka, baik mereka masuk dalam ikatan imam, janjinya dan diennya ataupun mereka tidak masuk dan perjanjian yang terjadi antara Nabi saw, dengan kaum musyrikin bukan mengadakan perjanjian antara Abu Bashir dan sahabat-sahabatnya dengan kaum musyrikin.

Oleh karena itu apabila terjadi perjanjian antera sebagian raja-raja kaum muslimin dengan sebagian ahludz-dzimmah dari kaum Nasrani dan yang lainnya, maka dibolehkan bagi raja yang lain dari raja-raja kaum muslimin, untuk menyerang mereka, dan boleh
mengambil harta mereka sebagi ghanimah, jika antara dia dan mereka tidak ada ikatan perjanjian.” Sebagaimana fatwa Syaikhul Islam pada orang-orang Nasrani Multhiyyah dan mengambil mereka sebagai tawanan, berdasarkan pada kisah Abu Bashir bersama kaum musyrikin. (Zâdul Ma’âd: III/309)

Allah ta’ala berfirman;

“Dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian…”

4. Ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dalam memerangi orang-orang yang murtad,

“Demi Allah, seandainya tidak tersisa kecuali atom, niscaya aku akan perangi mereka dengannya.” Maka, lihatlah kepada Ash-Shiddiq r.a bagaimana beliau berpendapat wajibnya memerangi orang-orang murtad walaupun seorang diri tanpa yang lain. Maha Suci Allah Dzat yang telah membagi-bagikan hidayah dan akal. ”

HUKUM MEMERANGI KELOMPOK-KELOMPOK MURTAD

Ikhwatî fillâh - Arsyadakumullâh

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa ditujukan bagi Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam, beserta keluarga, shahabat, dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Kajian kita kali ini merupakan bagian ke-5 dari Risalah Ma’âlim Ath-Thâ’ifah Al-Manshûrah fî Uqri Dâr Al-Mu’minîn (Bilâdu Syâm) karya Asy-Syaikh Abu Qatadah Al-Filasthini (Umar bin Mahmud Abu Umar). Beliau mengatakan:

Hukum Memerangi Kelompok-kelompok Murtad di Negeri-negeri Kaum Muslimin

1. Apabila seorang penguasa telah murtad, wajib atas kaum muslimin seluruhnya selain yang mempunyai uzur secara syar’I untuk mencopotnya dan keluar memberontak terhadapnya. Hukum ini telah berijma’ atas kelompok-kelompok Ahlussunnah tanpa ada yang menyelisihi sebagaimana yang diketahui.

Berkata Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullâh berkata ketika mensyarah hadits Ubadah bin Ash-Shamit RA ,

“Rasulullah SAW memanggil kami, lalu membaiat kami, maka di antara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kesusahan atau dalam kemudahan, atau ketika kami diperlakukan secara tidak adil , dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak, Beliau berkata: “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil padanya dari Allah”…” (HR Muslim)
Berkata Ibnu Hajar Rahimahullâh, “Ringkasannya, sesungguhnya secara ijma’ pemimpin digulingkan karena kekufuran, maka wajib atas setiap muslim, melakukan hal itu.” (Fathul Barî:13/123).
Berkata An-Nawawi Rahimahullâh, “Berkata Al-Qadhi Iyadh: 'Telah berijma’ para ulama bahwasanya imamah (kepemimpinan) tidak diberikan kepada orang yang kafir, dan seandainya tiba-tiba terjadi kekufuran atasnya, dia digulingkan,' dan dia berkata, 'Seandainya secara tiba-tiba terjadi kufur atasnya dan merubah syariat atau bid’ah, dia keluar dari hukum kekuasaannya, dan gugur kewajiban mentaatinya dan wajib atas kaum muslimin memberontaknya dan mencopotnya serta melantik Imam yang adil jika mungkin, maka jika hal itu tidak mungkin dilakukan kecuali oleh sekelompok dari kaum muslimin, wajib atas mereka untuk mencopot pemimpin kafir itu.'…” (Syarh Shahîh Muslim: XII/229)

2. Dan termasuk yang menguatkan kewajiban ini karena orang-orang murtad itu telah menduduki negeri-negeri kaum muslimin, para fuqaha` telah menyebutkan bahwasanya jihad hukumnya fardhu kifayah kecuali pada beberapa tempat diantaranya jika orang kafir menduduki negeri-negeri kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu ain.
Berkata Al-Mawardi Rahimahullâh, “Karena sesungguhnya ia adalah perang defensive (pertahanan) dan bukan perang ofensif (ekspansi), maka hukumnya fardhu atas setiap muslim yang mampu.”
Berkata Al-Baghawi Rahimahullâh, “Apabila orang-orang kafir memasuki Darul Islam, maka jihad fardhu ain atas orang-orang yang terdekat dan fardhu kifayah bagi yang berjauhan” (Syarhus Sunnah: X/374).
Berkata Ibnu Taimiyah Rahimahullâh, “Apabila musuh memasuki negeri-negeri kaum muslimin, maka tidak diragukan akan wajibnya melawannya atas yang terdekat, lalu yang terdekat karena negeri-negeri Islam seluruhnya kedudukannya seperti satu negeri.” (Al-Fatâwâ Al-Kubrâ: IV/608).
Periksa pula: Bidâyatul Mubtadî’ ma’a Syarh Al-Hidayah: II/135 (fikih Hanafi), Hasyiyyah Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarh Al-Kabir: II/175 (fikih Maliki), Raudhatuth Thalibîn: X/214 (fikih Syafi’i), dan Al-Mughnî : VIII/364 (fikih Hanbali).
Dengan demikian, penguasaan orang-orang murtad terhadap negeri-negeri muslim adalah termasuk jenis-jenis masuknya ornag-orang kafir dengan kekuatan mereka ke negeri-negeri kaum muslimin, karena manath (gantungan hukum)-nya sama, maka memerangi mereka hukumnya fardhu ain, sehingga agama Allah menang, terlindungi dari segala yang terlarang, terjaga wilayah dan kekuasaan, serta musuh dalam keadaan hina dan kalah.

KEPADA SIAPAKAH PEDANG JIHAD DIARAHKAN?

 

Bismillaahi. Assalaamu'alaikum warahmatullohi wabarakaatuh.

Ikhwatî fillâh - Arsyadakumullâh

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa ditujukan bagi Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam, beserta keluarga, shahabat, dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Kajian kita kali ini tentang Siapakah yang kami perangi?, yang merupakan bagian ke-4 dari Risalah Ma’âlim Ath-Thâ’ifah Al-Manshûrah fî Uqri Dâr Al-Mu’minîn (Bilâdu Syâm) karya Asy-Syaikh Abu Qatadah Al-Filasthini (Umar bin Mahmud Abu Umar). Beliau mengatakan:

Siapakah yang Kami Perangi?

Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Rasulullah SAW diutus dengan empat pedang:

1. Pedang untuk memerangi kaum musyrikin.

Allah Ta`âlâ berfirman :

Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada kaum musyrikin, yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian dengan (mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir. Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya, kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kaum (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka mendapat) siksa yang pedih. Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) tidak pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu, penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah kaum musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat, menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taubah: 1-5)

2. Pedang untuk memerangi ahli kitab

Allah Ta`âlâ berfirman:

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan olehAllah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS At Taubah ayat 29)

3. Pedang untuk memerangi bughat

Allah Ta’âlâ berfirman:

Maka jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (QS. Al-Hujurat: 9)

4. Pedang untuk memerangi orang-orang munafik

Alloh Ta'ala berfirman:

Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (QS. At Taubah ayat 73)

(Lihat: Tafsîr Ibnu Katsîr: II/350).