Selasa, 03 April 2012

HUKUM MEMERANGI KELOMPOK-KELOMPOK MURTAD

Ikhwatî fillâh - Arsyadakumullâh

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa ditujukan bagi Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam, beserta keluarga, shahabat, dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Kajian kita kali ini merupakan bagian ke-5 dari Risalah Ma’âlim Ath-Thâ’ifah Al-Manshûrah fî Uqri Dâr Al-Mu’minîn (Bilâdu Syâm) karya Asy-Syaikh Abu Qatadah Al-Filasthini (Umar bin Mahmud Abu Umar). Beliau mengatakan:

Hukum Memerangi Kelompok-kelompok Murtad di Negeri-negeri Kaum Muslimin

1. Apabila seorang penguasa telah murtad, wajib atas kaum muslimin seluruhnya selain yang mempunyai uzur secara syar’I untuk mencopotnya dan keluar memberontak terhadapnya. Hukum ini telah berijma’ atas kelompok-kelompok Ahlussunnah tanpa ada yang menyelisihi sebagaimana yang diketahui.

Berkata Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullâh berkata ketika mensyarah hadits Ubadah bin Ash-Shamit RA ,

“Rasulullah SAW memanggil kami, lalu membaiat kami, maka di antara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kesusahan atau dalam kemudahan, atau ketika kami diperlakukan secara tidak adil , dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak, Beliau berkata: “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki dalil padanya dari Allah”…” (HR Muslim)
Berkata Ibnu Hajar Rahimahullâh, “Ringkasannya, sesungguhnya secara ijma’ pemimpin digulingkan karena kekufuran, maka wajib atas setiap muslim, melakukan hal itu.” (Fathul Barî:13/123).
Berkata An-Nawawi Rahimahullâh, “Berkata Al-Qadhi Iyadh: 'Telah berijma’ para ulama bahwasanya imamah (kepemimpinan) tidak diberikan kepada orang yang kafir, dan seandainya tiba-tiba terjadi kekufuran atasnya, dia digulingkan,' dan dia berkata, 'Seandainya secara tiba-tiba terjadi kufur atasnya dan merubah syariat atau bid’ah, dia keluar dari hukum kekuasaannya, dan gugur kewajiban mentaatinya dan wajib atas kaum muslimin memberontaknya dan mencopotnya serta melantik Imam yang adil jika mungkin, maka jika hal itu tidak mungkin dilakukan kecuali oleh sekelompok dari kaum muslimin, wajib atas mereka untuk mencopot pemimpin kafir itu.'…” (Syarh Shahîh Muslim: XII/229)

2. Dan termasuk yang menguatkan kewajiban ini karena orang-orang murtad itu telah menduduki negeri-negeri kaum muslimin, para fuqaha` telah menyebutkan bahwasanya jihad hukumnya fardhu kifayah kecuali pada beberapa tempat diantaranya jika orang kafir menduduki negeri-negeri kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu ain.
Berkata Al-Mawardi Rahimahullâh, “Karena sesungguhnya ia adalah perang defensive (pertahanan) dan bukan perang ofensif (ekspansi), maka hukumnya fardhu atas setiap muslim yang mampu.”
Berkata Al-Baghawi Rahimahullâh, “Apabila orang-orang kafir memasuki Darul Islam, maka jihad fardhu ain atas orang-orang yang terdekat dan fardhu kifayah bagi yang berjauhan” (Syarhus Sunnah: X/374).
Berkata Ibnu Taimiyah Rahimahullâh, “Apabila musuh memasuki negeri-negeri kaum muslimin, maka tidak diragukan akan wajibnya melawannya atas yang terdekat, lalu yang terdekat karena negeri-negeri Islam seluruhnya kedudukannya seperti satu negeri.” (Al-Fatâwâ Al-Kubrâ: IV/608).
Periksa pula: Bidâyatul Mubtadî’ ma’a Syarh Al-Hidayah: II/135 (fikih Hanafi), Hasyiyyah Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarh Al-Kabir: II/175 (fikih Maliki), Raudhatuth Thalibîn: X/214 (fikih Syafi’i), dan Al-Mughnî : VIII/364 (fikih Hanbali).
Dengan demikian, penguasaan orang-orang murtad terhadap negeri-negeri muslim adalah termasuk jenis-jenis masuknya ornag-orang kafir dengan kekuatan mereka ke negeri-negeri kaum muslimin, karena manath (gantungan hukum)-nya sama, maka memerangi mereka hukumnya fardhu ain, sehingga agama Allah menang, terlindungi dari segala yang terlarang, terjaga wilayah dan kekuasaan, serta musuh dalam keadaan hina dan kalah.

0 komentar

Posting Komentar