Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa ditujukan bagi Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam, beserta keluarga, shahabat, dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Kajian kita kali ini merupakan bagian ke-6 dari Risalah Ma’âlim Ath-Thâ’ifah Al-Manshûrah fî Uqri Dâr Al-Mu’minîn (Bilâdu Syâm) karya Asy-Syaikh Abu Qatadah Al-Filasthini (Umar bin Mahmud Abu Umar). Beliau mengatakan:
Perangnya Satu Orang dari Kaum Muslimin adalah Jihad, meskipun Tidak Ada Imam
Termasuk bentuk penyimpangan pada masa kini adalah adanya anggapan bahwa perangnya satu orang, sepuluh orang, dua puluh orang, empat puluh orang, dan seterusnya dari kaum muslimin bukan jihad,. Begitu juga perkataan bahwa perang tidak ada dan tidak disyariatkan, kecuali dengan adanya imam yang berkuasa. Anggapan dan omongan seperti ini tidak ada dasarnya, bahkan hanya dengan pahamnya saja sudah cukup untuk menghukumi kebodohan dan kekurangannya.
Pendapat-pendapat yang seperti ini dan syarat-syarat yang diada-adakan pada intinya tujuannya hanyalah untuk merusak dan menghapuskan syariat yang ada dan cenderung kepada kehidupan dunia, mau hidup bernikmat-nikmat tanpa ujian, tanpa jihad, karena tidak ada satu pun hadits yang dapat dijadikan dasar atau sandaran bagi orang yang berpemahaman seperti itu. Seharusnya pendapat yang konyol dan syarat-syarat yang tolol ini tidak terlintas dalam benak para penuntut ilmu, dan ucapan para ulama memenuhi kitab-kitab mereka, untuk menyanggah dan membantah pendapat-pendapat yang tolol ini, banyak sekali dalil-dalil syar’i yang menolak buih yang tak berarti ini.
1. Berkata Ibnu Hazm Rahimahullâh, “Persoalan orang-orang kafir diperangi baik yang memimpin kaum muslimin orang yang fasik dari para amir-amir maupun yang tidak fasik, baik yang menyerang maupun yang diserang, sebagaimana orang-orang kafir diperangi bersama imam. Mereka diperangi juga meskipun yang memerangi mereka hanya satu orang.” (Al-Muhallâ: VII/299)
2. Berkata Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Rahimahullâh dalam Al-Mughnî (VIII/353), “Maka jikalau Imam tidak ada, jihad tidak boleh ditunda, sebab dengan menunda jihad maslahatnya hilang. Jika berjihad tanpa imam dan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), maka ghanimah itu dibagikan oleh orang yang ahli sesuai dengan tuntutan syariat.”
3. Berkata Ibnu Taimiyah Rahimahullâh, “Oleh karena itu, menurut As-Sunnah bahwasanya orang yang mengimami manusia shalat adalah shahibul kitâb (orang yang paling memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah), dan orang-orang yang berjihad adalah shahîbul hadîd (orang-orang yang ahli senjata dan perang), sampai urusan terpecah sesudah (kondisi yang normal) itu. Apabila urusan telah terpecah, maka siapa saja yang mengendalikan urusan perang untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan menghukum para penjahat dia wajib ditaati perintahnya, selama sesuai dengan perintah dan ketaatan kepada Allah.” (Majmû’ Fatâwâ: XVIII/158)
4. Berkata Asy-Syaukani Rahimahullâh, ”Kaum muslimin berselisih pendapat tentang hukum memerangi orang-orang kafir di negeri-negeri mereka, apakah disyaratkan adanya Imam A’zham (khalifah) ataukah tidak? Yang benar bahwasanya yang demikian itu adalah wajib atas setiap individu dari kaum muslimin dan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi SAW yang ada, bentuknya adalah mutlak (umum) tanpa terikat (ghairu muqayyad).
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan demikian itu adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya nash yang menunjukkan kepada pensyaratan: Berkata Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah, “Pensyaratan yang tidak wujudnya berpengaruh pada tidak wujudnya sesuatu yang disyaratkan –sebagaimana yang ditetapkan oleh para pakar ushul fiqh– tidak bisa dijadikan sebagai dalil atasnya, melainkan jika ia menunjukkan kepada yang demikian itu, seperti nafyul qabul (tidak diterima), atau sebagai contohnya: tidak ada shalat (tidak sah shalatnya) bagi orang yang mengerjakan shalat di tempat yang najis, karena adanya dalil yang melarang hal tersebut. Adapun hanya sekedar perintah an sich, maka tidak bisa dipakai untuk menetapkan syarat-syarat.” (Ar-Raudhah An-Nadiyah: I/80).
Jadi, mana nash yang menunjukkan kepada syarat ini?! Bahkan terdapat beberapa hadits yang menolak makna ini, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Jihad itu berlangsung terus sejak Allah mengutus aku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Jihad tidak batal (terhapus) karena jahatnya orang yang jahat atau adilnya orang yang adil. ”
2. Allah Ta’âlâ berfirman:
"Maka, berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri, dan kobarkanlah semangat orang-orang yang beriman (untuk berperang)."
Berkata Imam Al-Qurthubi Rahimahullâh, “Ia merupakan perintah Allah kepada Nabi saw, agar berpaling dari orang-orang munafik dan bersungguh-sungguh di dalam perang di jalan Allah walaupun tidak ada seorangpun yang membantunya diatas itu.” Kemudian dia berkata, ”Sudah seharusnya bagi setiap mukmin untuk berjihad walaupun seorang diri. (Ahkamul Qur’an 5/293).
3. Kisah Abu Bashir RA telah jelas dan gambalang dalam kisah beliau r.a bahwa beliau berjihad tidak berada dibawah bendera imam, dia tidak memegangi dan komitmen dengan perjanjian damai yang diadakan olehRasulullahsaw dengan orang-orang kafir Mekkah, dan dia memerangi mereka sendirian tidak berada dibawah bendera imam yang berkuasa (Rasulullah saw). Dan kisah Abu Bashir bukan sekedar kisah pribadi seorang shahabat yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah sebagaimana anggapan sebagian orang, bahkan Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah berhujjah dengan kisah tersebut, sebagaimana yang disebutkan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad sewaktu menyebutkan faedah-faedah ditinjau dari ilmu fiqih yang bisa diambil dari perjanjian Hudaibiyah.
Ibnul Qayyim berkata: “Di antaranya bahwa sesungguhnya orang-orang yang membuat perjanjian apabila mereka mengadakan perjanjian dengan imam, lalu keluar dari mereka, segolongan (dari kaum muslimin) kemudian memerangi mereka dan melarang mereka dari menyerang mereka, baik mereka masuk dalam ikatan imam, janjinya dan diennya ataupun mereka tidak masuk dan perjanjian yang terjadi antara Nabi saw, dengan kaum musyrikin bukan mengadakan perjanjian antara Abu Bashir dan sahabat-sahabatnya dengan kaum musyrikin.
Oleh karena itu apabila terjadi perjanjian antera sebagian raja-raja kaum muslimin dengan sebagian ahludz-dzimmah dari kaum Nasrani dan yang lainnya, maka dibolehkan bagi raja yang lain dari raja-raja kaum muslimin, untuk menyerang mereka, dan boleh
mengambil harta mereka sebagi ghanimah, jika antara dia dan mereka tidak ada ikatan perjanjian.” Sebagaimana fatwa Syaikhul Islam pada orang-orang Nasrani Multhiyyah dan mengambil mereka sebagai tawanan, berdasarkan pada kisah Abu Bashir bersama kaum musyrikin. (Zâdul Ma’âd: III/309)
Allah ta’ala berfirman;
“Dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian…”
4. Ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dalam memerangi orang-orang yang murtad,
“Demi Allah, seandainya tidak tersisa kecuali atom, niscaya aku akan perangi mereka dengannya.” Maka, lihatlah kepada Ash-Shiddiq r.a bagaimana beliau berpendapat wajibnya memerangi orang-orang murtad walaupun seorang diri tanpa yang lain. Maha Suci Allah Dzat yang telah membagi-bagikan hidayah dan akal. ”
0 komentar
Posting Komentar